10 Min Before Bed: Apa Salahnya Nyaman di Zona Nyaman?

Di edisi ke-dua 10 Minute Before Bed kali ini, MinBHI mau ajak kamu bahas soal zona nyaman dalam konteks dunia kerja. Zona nyaman seringkali diartikan dengan enggan resign salah satunya. Rasanya sering yah dapat nasihat dari orang tua untuk bisa betah atau awet bekerja di satu kantor.
Memang, nggak sedikit pekerja usia boomer yang bisa punya zona nyaman di satu kantor yang sama sampai usia pensiun. Namun kini situasinya berbanding terbalik. Menurut survei dari Universitas Islam Indonesia, usia rata-rata zona nyaman gen-z Indonesia di satu perusahaan berkisar 1-3 tahun saja.
Angka tersebut dianggap ideal, sedangkan selebihnya sering di-judge takut keluar dari zona nyaman, Beautyhaul Squad setuju ga? Atau jangan-jangan justru kamu yang sedang kepikiran soal ini? Oke, let’s go kita kulik bersama.
Kebutuhan akan Zona Nyaman
Semua manusia berhak merasa nyaman. Menurut psikolog terkenal asal Amerika, Abraham Maslow, zona nyaman adalah bagian fundamental dalam kehidupan. Tanpa rasa aman dan nyaman secara fisik, emosional, maupun finansial, akan sulit untuk bisa lanjut ke tahap aktualisasi diri.
Itu lah kenapa manusia baru bisa berfungsi optimal kalau dirinya berada dalam kondisi yang nyaman, alias minim tekanan. Karena kalau terlalu santai jadi kurang motivasi, tapi terlalu tertekan juga bikin super lelah alias burnout.
Kenapa Zona Nyaman Sering Dianggap Masalah?
Berangkat dari pengertian di atas, zona nyaman bisa jadi masalah kalau sikonnya malah bikin kita jadi stagnan, mundur nggak, tapi maju juga nggak.
MinBHI pernah denger pepatah yang bunyinya “comfort is the enemy of progress”—rasa nyaman bisa bikin kita terjebak nggak bisa berkembang, yang akhirnya bikin kita kehilangan momentum untuk coba hal baru.
Terdengar bukan masalah serius, tapi untuk banyak orang kondisi ini membingungkan, antara harus bersyukur atau malah dihantui perasaan bersalah karena nggak bisa push diri sendiri lebih keras lagi.
Belum lagi adanya tekanan sosial yang kadang nggak relevan dengan kondisi kita. Ada orang tua yang ingin anaknya naik jabatan, teman yang gemar flexing dengan pencapaiannya, atau bahkan mulai ditinggal resign satu-persatu bestie di kantor.
Sementara dari sisi internal, justru kita yang sudah diam-diam merasa puas dengan zona nyaman yang sekarang, merasa lebih stabil, dan mulai beranggapan “bukankah ini yang dinamakan nikmatnya menjalani kehidupan slow living?”.
Zona Nyaman vs Slow Living
Masuk ke zona nyaman, bukan berarti berhenti berkembang, sebaliknya bisa dijadikan titik di mana kamu memilih untuk hidup dengan ritme yang lebih lambat dengan penuh kesadaran.
Sementara slow living seringkali dihubungkan dengan kemampuan seseorang untuk hidup lebih perlahan dan sadar (mindful living), sehingga cenderung memiliki tingkat stres rendah, dan cepat puas akan pencapaian hal-hal kecil.
Ingat, nggak semua orang harus “lari cepat”. Bisa jadi hidup stabil bebas tekanan adalah gaya hidup paling cocok dan sehat secara mental untuk kondisi kamu sekarang. Karena keamanan dan stabilitas adalah kebutuhan dasar semua manusia sebelum lanjut ke tahapan aktualisasi diri.
Nggak Hustle ≠ Nggak Sukses
In this economy, memilih slow living dan nyaman di zona nyaman bisa jadi bentuk self-loved. Misalnya di saat minimnya lapangan pekerjaan, atau pilihan untuk eksplor startup yang baru established, kamu memilih bersyukur karena sudah punya zona nyaman, mendapat pemasukan yang stabil, dan yang terpenting adalah sudah merasa aman di kantormu sekarang.
Konon kerja hustle memang dilakukan demi bisa hidup nyaman. Tapi rasa nyaman nyatanya soal mindset yang bisa dibentuk, dan dilatih. Bukan oleh apa jabatan kamu, seberapa besar penghasilan atau ambisi kamu dalam berkarir.
Butuh Rehat atau Takut Dicap Gagal?
Memilih tidak keluar dari zona nyaman gak selalu jadi sumber kemalangan. Yang penting, kita tahu kapan waktu untuk istirahat, atau kapan sudah harus lompat ke tempat lain. Selama nggak menutup diri untuk bertumbuh, merasa nyaman di zona nyaman itu bukanlah sebuah kesalahan.
Besok, saat kamu rebahan sambil baca twitter atau scroll TikTok dan ngerasa “harusnya gue bisa lebih produktif”, “harusnya gue bisa lebih sukses” “Kok gue nggak resign kaya temen-temen yang lain ya” coba tarik napas, dan tanya ke diri sendiri:
“Apakah gue lagi butuh istirahat atau cuma takut dibilang gagal?”.







